Ga tau kenapa, jadi kepikiran tema ini terus akhir-akhir
ini. Dimulai dari teman2 satu lingkaran yang sekarang kebanyakan ibu rumah
tangga, komen2 negatif beberapa ikhwan mengenai akhwat yang berkarir, dll.
Anyway, apa yang mau saya tulis ini, just my opinion lho yaa..sy tidak memiliki
kapasitas dan wewenang ilmiah untuk menilai benar atau salah secara syariah,
it’s purely my opinion.
Saya seringkali heran, alangkah sombongnya manusia, saat
mengatakan bahwa, wanita yang bekerja itu, kelak tidak bisa dekat dengan
anak-anaknya, atau wanita yang memiliki karir di luar cenderung anak-anak dan
keluarganya bermasalah (komen nyata dari beberapa teman). Terlepas dari ada atau tidaknya riset mengenai hal ini,
saya cuma mau memberi komen atas beberapa fenomena yang ada di sekitar saya :
1.Beberapa kali saya amati, wanita-wanita dengan karir
profesional, memiliki keluarga yang mendukung penuh karirnya. Suami yang baik,
anak-anak dengan pendidikan akademik cemerlang, moral spiritual sangat terjaga,
secara agama juga luar biasa.
2.Sebaliknya, tidak bisa dipungkiri, ada beberapa wanita
yang merupakan ibu rumah tangga, selalu bermasalah dengan suami dan
anak-anaknya, jengkel dengan semua pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya,
tidak peduli dengan pergaulan anak-anaknya,bahkan tidak mampu mengikuti
perkembangan pendidikan anak-anaknya.
3.Lazimnya yang kita lihat di sekitar, seorang ibu
rumah tangga, dengan anak-anak solih dan
solihah, akademis cemerlang dan pergaulan terjaga. Sementara Ibu yang juga
merupakan wanita karir, sibuk mengejar karirnya, melupakan keluarganya, abai
terhadap perkembangan anak-anaknya. It’s a common view dalam keseharian kita.
Lantas, salah ga ya, jika saya mengatakan : Case nomor 3 di
atas, adalah hal yang biasa, sedangkan nomor 1 dan 2 adalah hal yang luar
biasa, amazing but still possible.
Yang ingin saya tegaskan adalah : ada faktor keridhoan Allah
, entah saat kita sebagai ibu rumah tangga atau ibu rumah tangga sekaligus
memiliki karir / pekerjaan.
Saya percaya, bagi wanita-wanita sholihah, yang senantiasa mengharap ridhoNya, memiliki keluarga sakinah, ma
waddah, wa rohmah adalah suatu impian. Mendidik anak-anak sukses dunia akhirat
dan menjadi pengantar baginya menginjakkan kaki di jannahNya adalah suatu
cita-cita. Saat nanti, ketika dikumpulkan di padang mahsyar, seandainya Allah
bertanya padanya “apa yang telah engkau ajarkan kepada anak-anakmu?” maka
adalah suatu keinginan menjawab dengan kalimat “saya telah mengajarkan mereka
untuk selalu berada di jalanMu ya Allah, menjadi prajurit2 yang membela
agamaMu, membela rasulMu, dan senantiasa mencari ridhoMu”
Namun, apakah
wanita-wanita tipe ini, seluruhnya adalah ibu rumah tangga? Bahwa sebagian
besar dan lumrahnya iya, memang benar, saya sepakat. Tapi, menjawab dengan kalimat
“pasti iya” saya rasa bukan jawaban yang tepat.
Don’’t ever judge a book from the cover.
Saat wanita memutuskan untuk bekerja, ada alasan-alasan
tersendiri yang ia miliki. Entah sebagai tenaga akademisi, praktisi atau berada
di birokrasi. Entah sebagai dosen, guru, bankir, dokter, enginer, akuntan,
lawyer, dll. Ada alasan yang mereka miliki.
Ingin bermanfaat bagi masyarakat luas, ingin ilmunya tidak
sia-sia, ingin mengembangkan diri, eksistensi diri,mandiri dan alasan-alasan lain,
adalah alasan yang biasa terdengar. Tidak salah bukan? Apalagi jika ia memang memiliki
kapasitas diri yang luar biasa dan berpotensi bermanfaat bagi banyak orang.
Selain itu, ada alasan lain yang mungkin mendasari pilihan
untuk bekerja,
Pernahkan terpikir, mungkin ia (wanita yang bekerja tsb)
memilik amanah luar biasa dengan pekerjaannya? Mungkinkah ada suatu faktor
eksternal, tanggung jawab yang besar yang menyebabkan ia harus bekerja?
Pernahkan terfikir, mungkin ia dalam keluarganya adalah anak pertama dari 6
bersaudara, ada 5 orang adiknya yang masih butuh biaya, sementara orangtuanya
memiliki masalah finansial. Mungkin orangtuanya berharap , ia yang akan merubah
ekonomi keluarga, at least menyekolahkan adik-adiknya hingga selesai. Atau
mungkin ia yang dulu disekolahkan orangtuanya saat orangtuanya masih berdaya
secara ekonomi, saat lulus harus menghadapi kenyataan bahwa keluarganya
memiliki banyak utang dan ia diharapkan bekerja untuk membantu saat-saat sulit
tersebut?
Ataukah saat ia lulus, bisnis ayahnya bangkrut, ayahnya
sakit-sakitan, ditipu oleh rekan bisnisnya, adik-adiknya masih butuh banyak
biaya untuk sekolah,makan,kehidupan sehari-hari, belum lagi utang2 yang ada dan
akhirnya ia harus bekerja di perusahaan dengan ikatan kontrak 10 tahun untuk
menghadapi seluruh ujian tersebut?
Apakah berhak, menjudge muslimah dengan keadaan seperti tsb
, sebagai muslimah yang berambisi, berkarir di perbankan, kantor akuntan,
perusahaan, dll hanya sekedar ingin diakui sebagai wanita karir yang modern dan
profesional? Apakah berhak langsung mengklaim, jika nanti muslimah tsb menikah,
pasti dia tidak akan bisa membagi waktu untuk keluarganya, tidak bisa dekat
dengan anak-anaknya,dll??
Oleh karena itu saya katakan, adalah sombong, orang-orang yang
berfikir demikian. Jika si Muslimah ikhlas, saat sudah berumah tangga
berikhtiar semaksimal mungkin dalam membagi waktu dengan adil ,insyaAllah,bukan
tidak mungkin, Allah lah yang akan
menjaga anak-anaknya saat tidak berada dalam pengawasannya, Allah yang akan
melunakkan hati suaminya agar ikhlas mendukung karirnya, jika Allah ridho dan
Allah berkehendak, apa sih yang tidak mungkin?
Tulisan ini mungkin memang edisi curcol, karena real , saya
dengar ada senior ikhwan yang berkomentar, (mungkin menasehati lebih tepatnya,
karena beliau sudah berumah tangga) : “jangan bekerja di bank, kebanyakan
teman2 ikhwan disarankan untuk tidak menikah dengan wanita yang berkarir di
bank karena jika sudah menikah nanti cenderung tidak dekat dengan anak-anaknya”
Saat itu saya masih kerja di kantor akuntan as an auditor.
Jadi kalem aja nyeletuk “apalagi akhwat yang kerja sebagai auditor ya? Yang
kerjaannya pergi pagi pulang pagi, lembur
tiada henti? :p” (Alhamdulillah sekarang sih udah resign jadi auditor
:p)
Anyway, saya bukan hendak menjudge atau mengatakan bahwa yang bekerja lebih baik atau ibu rumah tangga yang lebih baik. Pada dasarnya, saya sangat menghargai wanita-wanita yang memilih profesi ibu rumah tangga.
Saya cuma ingin menegaskan, apapun profesi nya ,
minumnya teh botol sosro,#eh *garing, wkwkwk..:D
Apapun profesinya, mau sebagai ibu rumah tangga, ataupun bekerja sebagai auditor, akuntan perusahaan,
enginer, bankir, ada alasan tersendiri
saat seorang akhwat memilih untuk bekerja. Mungkin salah satu alasan yang saya
sebutkan diatas, mungkin ada alasan yang lain, husnudzon saja lah. Toh, dia
tidak pernah merepotkan kita dengan mengeluh atas kondisi yang ada padanya, toh
jika kita su’udzon tidak akan berimpact apa-apa terhadap dia selain balik malah
bikin dosa kepada yang bersu’udzon.
Saya juga memiliki alasan pribadi berada di jalan yang saya
pilih (dan saya yakin insyaAllah memang jalan yang Allah pilihkan untuk saya),
saya memiliki rencana-rencana pribadi ke depannya (yang semoga Allah ridho
dengan rencana saya). Mohon doa saja, semoga yang terbaik, jangan men judge dan
jangan su’udzon please..it doesn’t help at all. #CurcolAbiss :D
Well, once again, saya katakan, its only my opinion, kepada
pihak-pihak yang kurang berkenan..mohon maaappp yaaaaa...J